Thursday, May 14, 2009

Menggapai Kehampaan

Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali merangkai huruf, menjadi kata; merangkai kata, menjadi kalimat; merangkai kalimat, menjadi cerita. Cerita-cerita yang sangat berarti, menyentuh, dan memberikan inspirasi. Lalu aku coba untuk mengurai.

Mengurai cerita, menjadi kalimat; mengurai kalimat menjadi kata; mengurai kata, menjadi huruf. Lalu huruf-huruf itu tidak ada artinya. Lalu aku tersadar, baik ataupun buruk, benar ataupun salah, ketika diurai sama-sama tidak ada artinya.

Seekor kura-kura berusaha mempercantik cangkangnya untuk menarik lawan jenisnya. Ia mengejek sesama jenisnya dengan cangkang-cangkang mereka yang jelek, kotor dan tidak terawat. Kemanapun ia pergi, ia selalu melihat dan mencari apa saja yang dapat meningkatkan kecantikan cangkangnya, dari batu-batu permata mahal sampai memasang lampu pijar agar cangkangnya bercahaya. Tapi, apapun yang ia lakukan tidak membuat lawan jenis maupun sesama jenisnya tertarik untuk mendekatinya. Entah cahayanya terlalu membutakan mata mereka, atau bau kesombongan yang terpancar mematikan penciuman mereka.

Kura-kura sedih, apapun yang indah bagi penglihatannya rasanya tidak akan berarti apabila ditanamkan pada cangkangnya; dan apapun yang buruk bila ditanam pada cangkangnya rasanya tidak akan menambah nilai keburukan yang sudah diberikan teman-temannya padanya.

Lalu ia menutup mata.

Tidak melihat yang baik dan tidak melihat yang buruk. Kenangan akan keindahan dan keburukan melebur menjadi satu. Akhirnya hampa. Keindahan menjadi hampa, keburukan menjadi hampa. Kekosongan menjadi hampa.
Kura-kura menyadari makna hidup ini. Jalan Tengah, tiada keekstrimisan, tiada yang indah, tiada yang buruk; tiada yang benar, tiada yang salah.
Perlahan segala aksesori ilusif dunia yang tertanam pada cangkangnya rontok satu-persatu. Meninggalkan esensi alamiah dari seekor kura-kura yang biasa-biasa saja. Lalu ia bersinar, dengan sinar yang tidak membutakan. Sinar yang menerangi seluruh alam semesta.