Pagi itu, Bulan tidak bersinar cerah. Ia berlari-lari sambil menggerutu sambil menenteng sebuah tas yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang kecil dengan kedua tangannya, ditambah ia juga sedang menggendong sebuah tas yang pas untuk ukuran tubuhnya. Setelah kelelahan dan mengeluarkan nafasnya pendek-pendek, ia mengeluarkan suara seperti auman singa: “A Kueeee……..nnn!!! Tas lo nih!” Yang dipanggil diseberang sana langsung melompat kaget sambil melongo: “Hah? Oo.. oo.. iya.. iya..” Sambil menyeret tubuhnya yang bongsor kehadapan Bulan. Ia sempat berhenti dulu sambil menggaruk-garuk kepalanya sebentar, lalu merampas tasnya lalu berjalan terseok-seok lagi. Teman-temannya menertawakan ia sambil menyerukan nama A Kuen. Bulan yang ditinggalnya hanya geleng-geleng kepala lalu berjalan ke arah sebaliknya.
“A Kuen jatuh lagi, Mak. Dia gak boleh maen bola lagi. Terus Bulan besok gak mau bawain tasnya lagi, tasnya berat banget! Terus…” belum selesai Bulan mengomel, langsung dipotong mamanya yang tidak tahan mendengar celotehan anak perempuannya yang baru berusia 8 tahun ini,” Hai yaa… A Kuenn… kok bisa-bisanya lu lupa bawa tas sekolah, sampe-sampe adek lu ini harus tenteng-tenteng tas lu yang berat itu kasi lu” “Lu maen bola lagi ya? Hai yaa… A Kuen, brapa kali Mak harus bilang ke lu ya… Jangaaaan maen bola lagi… tuh liat kaki lu pincang-pincang gitu, mau Mak sut ya? Ha?” Teriak mamanya tidak kalah kencang dari anak perempuannya sambil memegang rotan tipis di tangan kanannya. A Kuen hanya tertunduk sambil menahan tangis. “Aku lupa, Mak. Tadi pagi kan buru-buru ke sekolahnya” kata A Kuen. “Apa buru-buru? Ha? Gua liat sendiri lu uda berangkat dari jam 10an, lu kan sekolah jam 12, Ha? Maen bola kan lu? Ha? Awas lu ya… Boongin orang tua terus lu ya… kualat lu gua bilangin, kualat!” kata mamanya sambil mengomel terus-terusan dan berjalan ke dapur.
Esok harinya, A Kuen sedang berdiri di depan kelas sambil menaikkan satu kakinya dan kedua tangannya di kuping kiri dan kanannya. Sambil terisak, ia menundukkan kepalanya. Beberapa temannya melirik iba padanya, beberapa lagi tertawa geli bersama teman-temannya. Lalu terdengar ketukan di pintu. Bulan masuk dengan gagah dengan membawa satu set penggaris dan berjalan ke meja guru. “Bu, ini penggarisnya Bumi, kemarin saya pinjam terus lupa kembalikan. Jangan hukum Bumi lagi, Bu.” Setelah selesai berbicara dengan guru A Kuen, Bulan pun keluar dari kelas tanpa melirik kakak laki-lakinya lagi. “Bumi, kamu boleh duduk. Tapi ingat, ini terakhir kalinya adik kamu membawakan barang-barang kamu yang ketinggalan ke sekolah. Masa kamu gak malu sama adik kamu sendiri? Tiap hari adaa aja yang ketinggalan. Untung adik kamu baik mau membawakan. Ingat ya!” Setelah itu bel berbunyi. A Kuen segera mengambil penggaris-penggaris itu dari tangan guru matematikanya dan berjalan gontai ke tempat duduknya. “Telat kali si Bulan, pelajaran uda beres dia baru datang bawa penggaris” kata temannya Ucok. A Kuen hanya diam saja sambil terisak memandang penggarisnya.
Malamnya dirumah, A Kuen dipenuhi kemarahan dan berteriak-teriak: “Mei! Dimana lo? Meii!”, “Ada apa si tereak-tereak? Ha? Lu kira kita semua tuli? Kenapa lu cari-cari adek lo? Dia lagi ke warung beli obat. Mak lagi pusing, lu jangan tereak-tereak lagi ya..” Tidak lama kemudian, Bulan pulang dengan sebungkus obat tablet di tangan. Belum sempat ia menyapa kakaknya, langsung dihajar dengan kata-kata:”Mei, kok lu baru dateng pas uda selesai pelajaransih? Gua capek tau harus bediri lama!” kata A Kuen. Bulan yang mendengarnya langsung wajahnya merah padam. “Lo tau ga? Sekolah lo itu jauh, gua kan jalan kaki! Emangnya gua naek helikopter! Mana gua tau pelajaran lo selesai jam brapa, uda bagus gua bawain! Tiap hari gua yang bawain barang-barang lo! Mana pernah lo bilang terima kasih sama gua! Entar penggarislah, taslah, topilah, sepatulah… Kalo bukan Mak yang suruh, gua juga gak kerajinan bawain barang-barang lo ke sekolah!” “Udaaaaaahhhhh!!! Bisa diem gak sih lu bedua?” Mama yang sudah tidak tahan akhirnya mengambil rotan yang selalu di tangan kanannya ketika ingin memberi ‘pelajaran’ kepada anak-anaknya, yang akhirnya tidak pernah tega dilepaskan ke kulit anak-anaknya yang terlalu ia sayang. Belum sampai ia melangkah lebih maju, tiba-tiba… Bruk! Ia terjatuh. “Maaakkkk!!!” teriak Bulan. A Kuen hanya melihat mamanya dan Bulan dengan pandangan kosong dan bingung. “A Kuen! Lo jangan diem aja dong, ayo sini angkat Mak” A Kuen melangkah maju, kemudian mundur lagi dan berlari keluar rumah. Ia berlari terus-terusan tanpa tujuan. Ingatannya akan mamanya yang terbaring di lantai membuat ia gemetar dan menangis. “Pak… kenapa Papak pergi? A Kuen gak bisa jaga Mak… Mei-Mei juga benci sama A Kuen… Pak….huk…huk…” A Kuen tidak mampu menahan tangisnya sambil duduk di salah satu batu jalanan. Lalu ia merasa seseorang menepuk pundaknya. Ia lalu melompat dan berteriak,”Hantuuuu….!!!” Sambil menutup kedua matanya dan gemetar hebat. “Hush… sembarangan! Ini Pak Haji” A Kuen langsung membuka matanya dan memeluk Pak Haji erat-erat. “Huuuu…. Ma-Makk sa-sa-kit Pak Haji… Mak ga-ga-k bisa bangun lagi… Bu-bu-lan suruh A Kuen yang gendo-ng… huk… huk…A Kuen takuuttt… A Kuen takut Mak gak bangun lagi… Huuu….” Kata A Kuen sambil terbata-bara. Pak Haji mengangguk dan menggandeng A Kuen. “Ayo, sekarang kita lihat Makmu bagaimana, yah? Alah, paling-paling juga kurang darah.. biasalah ibu-ibu… udah, jangan nangis lagi.. ayo!” Lalu Pak Haji dan A Kuen berjalan menuju rumahnya kembali. Di dalam rumah, Bulan sedang mendampingi mamanya yang masih tergeletak diatas lantai sambil terus memanggil nama mamanya. Pak Haji mendekati mamanya dan memeriksa nadinya. Lalu ia tersenyum. “Ah… gak apa-apa… cuman pingsan, paling darah rendah… Ayo, kita angkat Makmu ini rame-rame” Bulan langsung mengangkat kaki mamanya “A Kuen, ayo bantu!” Lalu A Kuen juga perlahan-lahan memegang kepala mamanya dan Pak Haji mengangkat badannya dan membaringkannya di tempat tidur. “Coba, Pak Haji suruh Pak Gundul periksa Mak ya… kalian disini saja, jangan kemana-mana”, kata Pak Haji sambil keluar dari rumah mereka.
A Kuen menghabiskan malam itu tanpa berbicara sepatah katapun pada adiknya. Juga malam berikutnya dan malam berikutnya lagi. Bahkan ketika mamanya sudah sembuh total ia tetap tidak berbicara pada keduanya. Akan tetapi ia tidak lagi ketinggalan barang apapun. Tidak lagi dihukum. Suatu hari, ia sakit panas. Adiknya yang bersekolah pagi sudah berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Ia bangun lama setelah adiknya ke sekolah. Ibunya juga sudah pergi berjualan kue. Lalu ia melihat buku PR adiknya yang dikerjakannya semalam suntuk tergeletak di atas meja. Terbesit keinginan untuk membawakan buku adiknya ke sekolahnya. Akan tetapi, ia takut adiknya marah atau malu melihatnya, seperti ketika adiknya membawakan barang-barangnya. Teringat wajah adiknya yang selalu serius ketika belajar, selalu tidak bisa diganggu ketika mengerjakan PR, dan selalu mendapatkan juara 1. Tapi, masa cuman gara-gara gak bawa PR dia jadi gak juara 1? Pikirnya. Lalu ia ingat temannya si Ucok yang juga juara kelas, yang sempat kehilangan gelar juaranya ketika tidak membawa buku PRnya, oiya, itu juga gara-gara A Kuen yang lupa membawakan buku PRnya, karena hari sebelumnya buku itu ia pinjam untuk menyontek jawabannya. Akhirnya, ia mandi dan berganti pakaian, minum obat dan menenteng buku PR adiknya dan berjalan ke sekolahnya. Sekolah adiknya ternyata lebih jauh dibanding sekolahnya sendiri. Dan ia selalu mengeluh karena harus berjalan kaki ke sekolah. Mamanya tidak mengijinkannya naik sepeda, karena takut ia celaka, disamping itu juga mereka tidak mampu untuk beli sepeda. Sepanjang perjalanan jauh itu, ia selalu membandingkan hidupnya dengan adiknya. Adiknya selalu bekerja keras, belajar keras, dan tidak pernah mengeluh. Selagi pikirannya mengawang-awang, dari kejauhan ia melihat adiknya bersama beberapa anak lain yang tubuhnya lebih besar. Mungkin temannya, pikirnya. Lalu ia mendekat dan melihat salah satu ‘teman’nya mendorong adiknya sampai ia terjerembab ke tanah. Yang lain merebut tasnya dan membuang isinya. A Kuen hanya bengong saja melihatnya. Adiknya yang melihatnya hanya memalingkan muka, seolah malu dan tidak berharap akan bantuannya. Beberapa linang air mata terlihat di pipi kanan Bulan. Lalu A Kuen seperti tersadar dari tidurnya, ia lalu berteriak: “Woi! Kalian apain adek gua? Ha? Mau gua tonjok lu? Ha? Berani lu sama gua? Ha?” Tiba-tiba kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti kata-kata mamanya. Beberapa anak yang bertubuh besar itu langsung kabur mendengar aumannya. A Kuen lalu merapikan barang-barang adiknya yang berserakan dan memasukkan kembali ke dalam tasnya, termasuk buku PR yang dibawanya. Bulan masih menangis tersedu-sedu. “Mei, jangan nangis. Dia orang kagak berani lagi dah sama lu… Badan gua kan lebi gede! He he he..” kata A Kuen dengan maksud menghibur. Akan tetapi bukan kata-katanya yang menghibur adik perempuannya, akan tetapi postur tubuhnya yang besar dan bergerak tidak karuan karena tawanyalah yang akhirnya memberi senyuman manis di wajah adiknya. “Terima kasih ya…” A Kuen akhirnya mengucapkan kata-kata itu, yang membuat wajah adiknya kosong karena bingung. “Kok malah lu yang bilang terima kasih?” kata Bulan. “ Ya biar lu mau bawain barang gua lagi kalo ketinggalan… He he he…” lagi-lagi badan gempalnya bergerak hebat. “Enak aja! Jangan gara-gara Mak lebih sayang sama lu ya, gua jadi mau bawain barang lu terus…Huh!” katanya sambil berdiri. A Kuen kembali dengan wajah tololnya sambil melihat adiknya masuk kelas ketika bel tanda pelajaran dimulai kembali berbunyi.
LALITA : 51 Cerita Perempuan Hebat di Indonesia
5 years ago